JEJAK KARYA

Selasa, 02 Maret 2010

Diskriminasi Perkaderan KOHATI

Kalaulah Kohati selama ini berjuang menghapus diskriminasi terhadap kaum perempuan, maka kali ini ku ajak kawan-kawan kohati melihat ke diri sendiri. Apakah Kohati sendiri lepas dari diskriminasi dalam perkaderan HMI?.

Yang akan kusampaikan ini adalah rangkaian kasus yang beberapa kali berulang beberapa HMI cabang yang ada di Sumatera Utara khususnya Medan. Harus kusampaikan di sini untuk mendapatkan solusi dari kawan-kawan, mungkin juga dapat membantu secara struktural organisasi.


Kohati, dengan cikal bakalnya sebagai bidang keputrian dulunya, pada dasarnya adalah badan khusus yang bertanggung jawab dalam pembinaan anggota nya yaitu HMI-Wati. Dan sampai saat ini, peran ini masih di tertulis jelas dalam PDK maupun ART HMI. Yaitu Kohati adalah badan khusus yang berperan dalam pembinaan HMI wati.

Dengan status semi otonomnya Kohati pun membangun sistem perkaderannya sendiri yang terangkum dalam pola pembinaan KOHATI. Training Formalnya adalah LKK, dan dilengkapi dengan training Non formal juga proses informal di kepengurusan.
Tidak cukup sampai disini, dalam Latihan Kader I, juga diselipkan 2 jam materi tentang Kohati dan pergerakan perempuan. Tujuannya adalah pengenalan lembaga khusus kohati tepat saat melalui pintu awal perkaderan HMI. Dengan mengenal kader dapat kemudian kohati sebagai salah satu badan khusus tempat kader dapat mengembangkan potensi dirinya terutama dalam persoalan keperempuanan.

Dengan status semi otonomnya juga Kohati memiliki kebebasan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam setiap Musyawarah Nasional Kohati, selalu dilakukan perubahan dan pembenahan pada seluruh sistem organisasi Kohati. Karena Kohati bagian tak terpisah dari HMI, maka perubahan yang dilakukan pun harus disinergiskan dalam pasal-pasal di Konstitusi HMI. Misal tentang pengertian kohati.

Perubahan dalam petunjuk berorganisasi ini menjadi landasan hukum dan gerak dalam menjalankan semua aktifitas organisasi, di HMI/Kohati. Setiap kongres akan ada perubahan. Kadang perbuahan tersebut menguatkan keberadaan Kohati dalam artian mempermudah kinerja kohati dalam melakukan tugasnya. Kadang malah membuat Kohati kelimpungan mengurus permasalah internal dan gesekannya dengan kepentingan HMI setingkat.

Contoh perubahan yang memberi angin segar bagi Kohati adalah, hasil Kongres ke-24 di Pondok gede, Jakarta tahun 2004. Hasil kongres ini pada Pasal 33d ART HMI mengukuhkan keberadaan Kohati sebagai salah satu syarat berdirinya cabang penuh. Dampak dari perbuahan kebijakan ini, serta merta cabang-cabang HMI mendirikan Kohati, Badko pun membantu proses tersebut agar segera terlaksana. Periode ini, tugas Kohati badko amat terbantu, tanpa harus berkoar-koar merayu cabang agar segera mendirikan Kohati. Meski tak hanya Kohati yang mendapat limpahan kemudahan menjalankan tugas karena perubahan di konstitusi ini, pada pasal tersebut juga tersebut bahwa setiap cabang harus memiliki Badan pengelola latihan, Kohati dan satu lembaga kekaryaan. Maka lahirlah lembaga pers, lembaga kesehatan, lembaga dakwah, dan banyak lembaga lainnya yang selama ini (khusus di Sumatera Utara) hanya di dengar saat materi konstitusi disampaikan di LK-I. Harapan terbersit pada masa itu, alangkah bagusnya peraturan baru ini, biar HMI ini tak berpolitik saja, biar HMI ini lebih banyak berkarya, biar HMI ini lebih banyak mengkader manusia pelaku perubahan.
Sayangnya pasal ini kemudian di pangkas pada kongres berikutnya di Makassar tahun 2006. Entah apa alasan logisnya, Kohati kemudian tidak menjadi salah satu alat ukur, suatu cabang dinyatakan sebagai cabang penuh. Tak pernah ada catatan tertulis mengapa suatu pasal pada AD ART berubah. Namun dengan eratnya hubungan pasal ini terhadap kelayakan cabang untuk pemilihan ketua umum, bisa jadi pemangkasan pasal ini adalah untuk mendapatkan suara pemenangan kandidat (silahkan koreksi jika dugaan ini salah). Kepentingan pragmatis yang akibatnya berpengaruh luas. Kohati kembali harus bekerja keras.

Demikianlah sejarah mencatat, diskriminasi lembaga Kohati di saat Kongres, di wadah pengambilan keputusan tertinggi di HMI.


Mari melihat ke dalam perjalanan roda organisasi.

Dalam kepengurusan HMI cabang, pernahkan memprioritaskan pengadaan LKK (latihan Khusus Kohati)?.

Pada Di HMI cabang di Sumatera Utara, LKK (Latihan Khusus Kohati) bukanlah training yang di prioritaskan untuk dilaksanakan. Jika dalam sebuah agenda HMI cabang akan mengadakan LK II (Latihan kader II/Intermediate Training), dan kebetulan Kohati juga akan mengadakan LKK maka biasanya dengan alasan ketiadaan tenaga pengelola, dana dan lain-lain, maka LKK diharapkan mengalah, di undur pelaksanaannya, atau kalau perlu tak usah dilakukan. ”Untuk apa LKK?, yang lebih penting kan LK II !” . Begitulah statement yang sering muncul. Amat jarang cabang yang memiliki kesadaran akan pentingnya perkaderan di Kohati. Ini masih di tingkat HMI cabang.
Masalah yang lebih rawan ada di Badan Pengelola Latihan. Kohati jelas tidak memilki badan pengelola latihan khusus kohati, wajar...karena sudah ada badan khusus yang mengurusi semua tetek bengek pengelolaan latihan di HMI. Sayangnya, BPL ini perkembangannya lambat. (Maaf ini fakta...)

BPL (Badan Pengelola Latihan) saat ini, lebih layak disebut Badan Pengelola Latihan formal HMI, Namun sebutan ini masih lebih baik daripada sebutan Badan Pengelola Latihan Kader I/Basic Training.

Karena pada kenyataannya BPL memang terlalu sibuk mengurusi training formal saja. Nyaris tak ada memiliki inovasi training dan pengembangan dalam training-training non formal yang sesungguhnya juga wadah penting bagi pengembangan kader HMI.
Nah, ketika Kohati memohon bantuan tenaga pengelola LKK (Latihan Khusus Kohati), BPL biasanya kelimpungan, kebingungan menentukan siapa instrukturnya, karena energi pengelolaan selama ini habis untuk LK-I saja. Bisa jadi pengurus BPL tak pernah tau jika Kohati memiliki modul LKK yang tercantum dalam PDK (Pedoman dasar Kohati), apalagi melakukan pengembangan berarti untuk perkaderan Kohati. Dapat menyukseskan LK I aja syukur Alhamdulillah.

Jika BPL bisa melupakan pelatihan di Badan Khusus Kohati_yang telah memiliki pola pembinaan sendiri, apatah lagi memfasilitasi pengelolaan badan-badan khusus lainnya di HMI?.

Di HMI cabang Medan, kondisi ini merembet pada pengurangan materi Kohati & dinamika gerakan perempuan yang seharusnya disampaikan dalam LK-1. Pengurangan ini dengan alasan, efisiensi waktu.

Alih-alih BPL seharusnya membantu perkaderan Kohati sebagai salah satu badan HMI setingkat, kenyataanya BPL (sengaja atau tidak) telah secara sistematis menghambat perkaderan HMI-wati. BPL melahirkan kebijakan sepihak tanpa meminta pertimbangan Kohati cabang setingkat tentang di cabutnya materi tersebut dari LK-I. Malangnya Kohati tidak bisa berbuat apa-apa. Sistem training memang dikendalikan sepenuhnya oleh BPL. Dan memang tidak ada pengaturan prosedur atau sanksi dalam konstitusi kita, jika ada pencabutan materi yang seharusnya disampaikan dalam training formal HMI, apalagi dalih materi Kohati dan pergerakan perempuan adalah bukan materi pokok namun sekedar suplemen dalam LK I.

Sebenarnya akan lebih etis, jika Kohati juga dilibatkan dan perubahan sistem LK I tersebut, karena hal ini menyangkut sistem perkaderan Kohati juga. Karena perkaderan Kohati juga bagian dari perkaderan HMI. Dengan duduk bersama, seharusnya ada alternatif lain tanpa harus mengorbankan sistem perkaderan Kohati yang telah berlangsung mapan selama ini.

Sikap BPL seperti ini, tentulah dilatar belakangi oleh ketidakpahaman akan pentingnya keberadaan badan khusus terutama Kohati dalam HMI. Perkaderan dipandang sempit dalam wadah HMI saja, tak termasuk ada dalam badan khusus Kohati dan lembaga-lembaga HMI lainnya. Sistem pengelolaan dipandang penting hanya sebatas pada training formal di HMI saja. Sikap seperti ini, jika dilanjutkan hanya akan mematikan perkembangan HMI di bidang lainnya.
Adapun keberadaan kader Kohati di BPL tidak cukup untuk mendudukkan pemahaman ini. Harus ada dasar hukum yang tegas yang jadi standar acuan, yaitu Konstitusi.
Jika mengandalkan dinamika di saat rapat-rapat, maka kondisi perkaderan Kohati di setiap cabang akan cenderung terancam, karena lama kelamaan, karena pola pekaderan Kohati yang diperlemah di LK-I ini, maka akan lahir Instruktur yang meski anggota Kohati namun tak mengerti akan pentingnya keberadaan Kohati. Dan kader seperti ini akan semakin banyak.

Contoh kasus Di HMI cabang Medan, Instruktur HMI-wati cenderung enggan mengikuti LKK. Jarak HMI-wati mengenal Kohati telah di perlebar sejak penghapusan materi Kohati di LK-I. Mereka malah menganggap mengikuti LKK tidak penting karena tak ingin bersinggungan dengan Kohati. Sementara keberadaan Instruktur HMI-wati yang telah LKK sangat dibutuhkan untuk pengelolaan LKK. Dalam aturan BPL, pengelola pelatihan adalah oleh instruktur yang pernah mengikuti pelatihan tersebut. Analoginya, tentu tidak pantas, S1 mengajar mahasiswa S2. Tentu tidak pantas, instruktur yang belum LK III mengelola LK III. Begitu juga LKK. Itulah sebabnya, belakangan pengelolaan LKK di Sumatera Utara harus HMI-wati, meski dulu di awal tahun 2000, saat sumberdaya instruktur HMI-wati sangat minim pengelolaan LKK diperbantukan oleh instruktur HMI-wan.

Fenomena merusak entah sejak kapan kemudian membudaya pada para kader yang telah mengikuti Senior Course, yang merasa layak menjadi instruktur/pengelola pelatihan di HMI. Instruktur-instruktur muda ini justru cenderung berhenti mempelajari pelatihan-pelatihan lain di HMI. Merasa sudah menguasai semua jenis pengelolaan training HMI setelah mengikuti Senior Course. Aneh. Bagaimana bisa mengembangkan sebuah pelatihan jika tidak mengetahui seluk beluk pelatihan tersebut?. Dan karena pelatihan bukan buku yang transfer pengetahuannya dapat tersampaikan saat dibaca. Maka bukankah Pelatihan harus di-ALAMI?. Mengacu pada buku Manusia Pembelajar, Andreas Harefa, bisakah Guru dikatakan Guru jika ia berhenti belajar?.
Dari gambaran permasalahan ini, penting kiranya dikembalikan keberadaan Kohati sebagai salah satu persyaratan cabang penuh. Jika perlu harus lebih diperkuat sampai persyaratan komisariat penuh (kecuali memang komisariat tersebut tak ada HMI-watinya). Kenapa harus sampai tingkat Komisariat?. Tak lain karena Kohati adalah organisasi mahasiswa yang tetap harus memiliki basis sampai tingkat komisariat/kampus. Kohati dari tingkat tertinggi sampai lapisan paling bawah harus bersatu mengatur skenario memenangkan perubahan ini saat Kongres. Demi eksistensi Kohati di HMI. Demi menghapus diskriminasi Kohati.

Kedua, Sifat semi otonom Kohati, membuat garis hubungan kerja antara Kohati PB hingga ke bagian terkecil Kohati menjadi lemah. Kohati perlu memikirkan solusi untuk membuat hubungan ini menjadi sigap dalam menghadapi persoalan-persoalan di tingkat paling bawah. Misalnya, bagaimana Kohati Badko dan PB menyelesaikan persoalan BPL yang menyunat materi pengenalan Kohati dari LK-I?. Atau bagaimana Kohati PB dan Badko bersikap pada cabang-cabang yang tidak mengadakan LKK hingga lebih dari 2 periode. Jika PB HMI bisa melakukan pencabutan status cabang jika tidak mengadakan LK II dalam 2 periodesasi, bagaimana sanksi terhadap Kohati cabang yang tidak melakukan LKK?. Bagaimana jika masalah tidak terlaksananya LKK adalah persoalan di kebijakan yang diskrimintif di HMI setingkatnya?. Hal-hal seperti ini harus dibenahi sesegera mungkin, karena persoalan Perkaderan Kohati berhubungan erat dengan keberlangsungan Kohati di masa depan. Jangan sampai HMI di masa depan mundur jauh kebelakang sebelum adanya Kohati, dimana HMI yang tak mampu meresponi persoalan keperempuanan yang pastinya tak pernah usai menjadi permasalahan dunia.

Tidak ada komentar: