JEJAK KARYA

Minggu, 14 Juni 2009

p


HMI bagiku adalah penyedia fasilitas belajar tanpa batas. Tergantung diri sendiri mau belajar apa disini. Ingin belajar Ekonomi, panggil pakar ekonomi, ingin tau tetang HAM, panggil aktifis HAM. Jejaring HMI punya semua link itu. Tentu saja kemampuan itu ada jika duduk sebagai pengurus, dan bukan hanya sekedar anggota.
Dari semua proses kepengurusan yang kulalui, dari tingkat departemen hingga ketua umum, Posisi yang paling banyak proses belajar ada tiga.
1. Menjadi Sekretaris.
2. Menjadi Ketua Bidang
3. Menjadi Ketua Umum

1. Menjadi sekretaris, baik sekretaris umum maupun wakil sekretaris umum akan memaksa diri secara tak langsung untuk mengetahui cara mengoperasikan mesin organisasi. Surat-menyurat, menjalankan rapat dan sidang-sidang, memastikan jadwal-jadwal rencana kegiatan terlaksana tepat waktu. Selain itu komunikasi amat penting di posisi ini. Baik komunikasi lisan maupun tulisan. Menyampaikan pemikiran dengan jelas, runut/tersistematis. Semuanya melatih keberanian menyampaikan pemikiran.

2. Menjadi Ketua Bidang. Posisi ini paling nikmat untuk berkreatifitas. Membuat program-program kerja, dan melaksanakannya, melakukan penyesuaian perencanaan dengan pelaksanaan. Membangun jaringan baik internal HMI maupun eksternal HMI. Jika ingin berbuat banyak bagi HMI dan masyarakat, posisi ini amat memungkinkan. Jangan takut melakukan hal-hal yang tidak biasa, sepanjang yakin terhadap proses dan tujuan masih dalam jalur konstitusi. Lakukan.

3. Menjadi Ketua Umum. Nikmatnya menjadi ketua bidang eksternal, membuat ku tergiur untuk menjadi Ketua Umum. Dalam pemikiranku, tentulah lebih banyak yang bisa kulakukan di posisi ini. Ternyata proses ketua umum adalah tak sekedar membuat program kerja. Dipundaknya adalah beban organisasi. Simbol organisasi melekat di tubuh dan tingkahlakunyanya, bahkan saat sang Ketua Umum sudah tak lagi menjabat. Ketua Umum seringkali menjadi alat ukur keintelektualan, dan etika dan norma yang dianut organisasi. Maka demi menjaga hal tersebut, saat jadi ketua umum, penampilan harus kujaga baik-baik. Yah tentu saja penampilan bukanlah segalanya. Tapi penampilan adalah pintu masuk sebuah hubungan baik ke lembaga maupun masyarakat. Jika berpakaian tak rapi, kesan pertama, orang pun malas untuk berkenalan. Disinilah aku membiasakan diri memakai Rok, sepatu hak tinggi, sekali-kali memakai Jas. Semua untuk membangun wibawa yang tak hanya untuk diriku tapi juga marwah organisasi. Dan dari sini, diikuti pula oleh tingkah laku dan tutur bicara yang sesuai. Sopan dan tegas. Mau tidak mau, seorang ketua harus rajin membaca, membaca buku maupun membaca alam. Karena tutur bahasanya adalah mewakili organisasi. Berat ya?. Kadang lelah juga. Kalau lelah mencoba selalu sempurna alias Ja'im, aku biasanya beralih kegiatan.

Menjadi Ketua Umum juga tak selalu bebas melaksanakan program-program kerja. Karena terlaksananya program kerja adalah menyangkut kerja sama tim pengurus. Imam, Ketua Umumku pernah menyatakan kekecewaannya padaku, dia bilang begini " Pera, sebelum mejadi ketua umum, kulihat banyak ide-ide cemerlang yang akan kau buat. Tapi setelah menjadi ketua umum kenapa seakan sulit mewujudkannya". Aku sedih sebenarnya, bukan sedih karena evaluasi sang Ketum, tapi sedih karena sesungguhnya aku sangat ingin mewujudkan cita-cita ku itu. Menjadikan Kohati organisasi perempuan yang menjadi inisiator pergerakan perempuan. Berada di garis depan, bukannya manut jadi pengikut sesuai issu sosial yang sedang berkembang. Mimpi tak sesuai dengan kemampuan.

Dalam proses pembelajaranku sebagai ketua umum, aku sampai pada sebuah kesadaran bahwa yang terpenting bukanlah terlaksananya program kerja, tapi bagaimana memadu kekuatan tim pengurusku agar dapat mencapai tujuan bersama. Begitu getolnya aku sebelumnya melakukan kerja-kerja di bidang eksternal, tapi dalam posisiku sebagai ketua umum, aku sampai pada kesadaran bahwa perkaderanlah alat yang melahirkan orang-orang (bukan satu orang) yang melakukan perubahan di masyarakat. Maka mulailah Internal menjadi perhatianku. Menyeimbangkan Eksternal dan Internal menjadi bahan eksperimenku.

Beruntung sekali aku sempat masuk dalam proses Senior Course. Training non-formal ini membuatku terhubung hingga saat ini dengan Kohati/HMI. Dan sangat mempermudahku dalam memuluskan jalannya perkaderan di Kohati yang seringkali terdiskriminasi karena alasan prioritas di HMI setingkatnya. Pasca gelut peluh sebagai Ketua Umum, menjadi Instruktur adalah proses pembelajaran tiada akhir bagiku.

Jika menjadi pengurus harus diakhiri sebagai tanda jalannya regenarsi organisasi. Maka mejadi Instruktur adalah proses sepanjang hayat. Proses untuk selalu belajar dan mengajar.

Takkan menjadi Instruktur yang baik jika seorang Instruktur berhenti belajar. Dan bukanlah Instruktur pulam jika dia tidak mengajarkan Ilmunya.

Menjadi Instruktur juga berarti menjadi Uswatun Hasanah bagi kader yang dididiknya. Sehingga jabatan sepanjang hayat ini menjadi pagar diri agar selalu memberi contoh yang baik.

Tentu saja sebagai manusia terkadang lalai dan melakukan kesalahan. Tapi tugas kita haruslah selalu berusaha untuk yang terbaik bukan?.

Dalam setiap perkaderan, selalu kuanjurkan pada adik-adikku untuk melalui bidang-bidang kerja itu. Bukan berarti aku meposisikan rendah jabatan yang lain di HMI, tapi hanya karena aku telah melaluinya dan amat bersyukur telah memanfaatkannya semampuku.

Apapun Posisi di kepengurusan, hanya yang mau memaksakan dirinya sendiri untuk belajar dan belajar yang akan merasakan nikmat buah posisi tersebut. Bahkan tak hanya dinikmati di masa-masa menjabat pengurus. Disadari atau tidak, proses menempa diri untuk selalu memecahkan masalah, berani, belajar bertanggung jawab, bekerjasama dengan sesama pengurus, berkomunikasi dengan orang banyak adalah proses penting membentuk diri sendiri.

Inilah sekolah kehidupan itu. Yaitu sekolah yang menghidupkan diri sendiri dan orang banyak. Maka.. jangan sia-siakan.

Jangan jadi kader yang hanya sekedar ada, apalagi yang mengada-ada. Jadilah kader yang lebih dari Ada.

Tidak ada komentar: