JEJAK KARYA

Rabu, 10 Juni 2009

Indikator Keberpihakan pada Perempuan

* Oleh Yusuf A Kusmanto


DALAM riset anggaran daerah yang mengambil fokus di Kabupaten Bantul
dan Kabupaten Gunungkidul (DIY), Dati Fatimah —peneliti gender dari
IDEA Yogyakarta— menyebutkan anggaran daerah selama periode 2000-2004
untuk kegiatan posyandu di kedua daerah itu hanya sekitar 0,2 persen
dari total anggaran APBD.

Anggaran untuk posyandu (pos pelayanan terpadu) begitu minimal.
Padahal kegiatan posyandu merupakan tolok ukur keberpihakan anggaran
publik atas kepentingan kaum perempuan, dalam hal ini ibu hamil, ibu
menyusui, serta anak di bawah usia tiga tahun (batita) dan anak di
bawah lima tahun (balita).

Ibarat tubuh manusia, posyandu merupakan ’’jantung’’ dari program
pelayanan kesehatan yang menjadi teropong sejauhmana standar
kesuksesan pelayanan peningkatan gizi dan kualitas hidup masyarakat.

Selama ini yang menjadi tolok ukur dalam pelayanan kesehatan terhadap
masyarakat yang dilakukan institusi negeri maupun swasta selalu
bersifat luxury oriented.

Apa yang disebut pelayanan kesehatan berkualitas ditentukan oleh
kondisi infrastruktur medis serta kapabilitas pelayanan kesehatan yang
memiliki kaitan dengan kecakapan pembiayaan (to fund).

Hal tersebut tidak terlepas dari kondisi komersialisasi sektor
kesehatan akibat laju globalisasi yang berfokus kepada akumulasi modal
di sektor publik, yang seharusnya diproteksi oleh negara.

Kesehatan masyarakat yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara,
lambat laun berangsur menjadi ’’tanggung untung’’ privat yang
menanamkan investasinya di sektor pelayanan kesehatan. Akhirnya rasio
dan kualitas kesehatan masyarakat sangat dependen terhadap kemampuan
(ability) personal dalam mengakses standar pelayanan kesehatan.

Bagi yang berakses tinggi, tentu bisa mendapatkan pelayanan kesehatan
yang memadai, optimal, dan high medical technology. Tetapi bagi
kelompok yang berakses rendah, karena pendapatannya kurang atau
pas-pasan, hanya akan mendapat pelayanan ala kadarnya.
Sudut Perhatian
Tingkat atau indeks kesehatan masyarakat yang objektif bisa diukur
dari dimensi keadilan gender, seperti alokasi belanja anggaran
kesehatan negara untuk subsidi pelayanan pemeliharaan kesehatan
masyarakat.
Indikator pelayanan kesehatan yang berkeadilan gender secara
konseptual maupun numerik bisa dibaca dengan berbagai sudut perhatian.

Pertama, level kuantitas dan kualitas anggaran kesehatan yang
difokuskan untuk melayani kepentingan kaum perempuan dan anak batita /
balita. Jika alokasi anggaran kesehatan (pusat maupun daerah) untuk
pelayanan kesehatan publik minimal menyentuh angka 30 persen untuk
perempuan dan balita, maka sudah memenuhi kelayakan sebagai
berkeadilan gender.

Kedua, tingkat aksesibilitas pelayanan kesehatan bagi perempuan dan
balita. Jika perempuan dan balita di seluruh pelosok daerah sudah
terpenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang berkulitas, dan
terjangkau oleh pendapatan keluarga mereka, serta tak mengambil jatah
komsumsi keluarga yang tidak terencana, maka hal tersebut bisa
dikategorikan sebagai pelayanan berkeadilan gender.

Ketiga, skala prioritas pelayanan kesehatan untuk perempuan (ibu
hamil, ibu menyusui, lansia perempuan, balita perempuan) ketika mereka
memerlukan ikhtiar pelayanan kesehatan di berbagai institusi pelayanan
kesehatan.

Dengan ketiga indikator tersebut, maka akan terlihat kualitas
kesehatan perempuan yang bisa dibaca dari makin menurunnya angka
kematian ibu hamil, terpenuhinya gizi balita dan ibu menyusui,
menurunnya angka kematian ibu melahirkan, dan sebagainya. Tentu saja
data ini harus dikumpulkan secara objektif, tanpa tendensi manipulasi.

Pelayanan kesehatan berkeadilan gender tidak mendiskriminasi perempuan
yang membutuhkan fasilitasi kesehatan dengan membedakan status sosial
/ ekonomi dan posisi ’’kelas’’ sosial. Ada kesemarataan dalam
pelayanan kesehatan.

Pelayanan kesehatan berkeadilan gender juga memperkuat wawasan gender
bagi segenap praktisi dan perangkat hidup pada sektor pelayanan
kesehatan. Ini menjadi sebuah gagasan dan implementasi yang
berkelanjutan. (32)

— Yusuf A Kusmanto, dokter dan bertugas di Puskesmas II Eromoko,
Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri.

Sumber:
http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=67192

Tidak ada komentar: