JEJAK KARYA

Rabu, 22 April 2009

Aku Kartini

"Aku ingin jadi Kartini"
Kuucapkan kalimat itu lantang ketika ku SD. Ketika itu ibu guru menyuruh kami menyebutkan tokoh pahlawan yang diidolakan. Saat itu sesungguhnya aku tak kenal siapa Kartini. Lantangku saat itu hanya untuk mengalahkan lantang nya kawan-kawanku menyebut tokoh pahlawannya.
Bagiku Kartini saat itu, hanya wanita anggun, berwajah bulat, berkebaya putih di pajang di deretan pahlawan di dinding kelas. Kupilih dia karena kami punya kesamaan, sama sama perempuan.


Ya..ya..memang ada gambar perempuan lain, ada Cut Nyak Dhien, Martha Cristhina Tiahahu terpajang juga di dinding kelas. Karakter keras tampak di wajah mereka. Mungkin karena itu, Aku tidak begitu suka mereka saat itu. Bagiku perempuan ideal itu ya..Kartini. Wajahnya lembut, seperti Ibuku.

Ya..ya..seingatku ada juga Pahlawan pemilik wajah keibuan. Namanya Dewi Sartika. Tapi ah..aku tak juga begitu suka. Masih lebih cantik Kartini.
Salahkah?. Ah.. saat itu aku tak perduli.

Lalu, perlahan aku kenal dia. Kartini itu, pejuang hak perempuan. Dengan caranya yang tak langsung aku bisa sekolah dengan bebasnya. Kartini anak Bupati Jepara, Suka menulis surat, Kumpulan suratnya kemudian menjadi buku, judulnya, habis gelap terbitlah terang. Tak pernah aku baca bukunya. Aku hanya simpulkan, buku itu lah yang mengabadikan namanya.

******

"Kenapa Kartini?" tanya seorang sahabat.
"Lha..apa yang salah dengan Kartini?" Sahutku bingung malah balik bertanya. Bukankah umumnya anak perempuan di Indonesia mengidolakan Kartini?. Bagiku malah pertanyaan temanku ini yang aneh.

"Sebenarnya yang lebih layak populer itu adalah Dewi Sartika. Dia mendirikan sekolah perempuan pertama. Bukan Kartini. Kartini hanya meniru saja, melanjutkan perjuangan Dewi Sartika saja.
Sedangkan Kartini..Perjuangannya pun tak segarang Cut Nyak Dhien yang membuat Belanda kehabisan akal menghabisi Aceh. Apa sih.. yang diperbuat Kartini bagi bangsanya?. Bukankah dia hanya menulis?, menjadi Istri yang di madu, lalu meninggal di usia muda. Aku ragu dengan kelayakannya sebagai Pahlawan Nasional".

Aku hanya terdiam. Di benakku mulai setuju dengan temanku. Ada benarnya juga dia. Ya..apa hebatnya Kartini??. Tak terbersit satu alasan kuat dan ampuh di otakku untuk aku membalas pemikiran sahabatku itu. Dan karena aku tak ingin terlihat bodoh...kujawab saja sekenanya.

"Tapi...apa pentingnya membandingkan kepopuleran pahlawan?. Bagaimanapun mereka telah berjasa bagi negeri. Untuk apalah dirirbut-ributkan siapa yang lebih populer, dan siapa yang benar benar pahlawan sejati. Yang penting aku suka aja". Jawabku seolah tak perduli dengan pemikirannya.
Tapi sahabat itu tak menyerah juga. katanya..

" Bagaimana bisa kamu meneladaninya, kalau kamu sendiri tidak tau apa yang dia lakukan bagi negeri ini, Harusnya yang kamu jadikan Idola adalah yang terbaik. Yang benar-benar layak mendapat gelar pahlawan nasional, bukan karena banyak orang-orang menyebutnya sebagai Pahwalan Nasional".

Saat itu aku masih SMP, dan tak ambil perduli dengan ucapan temanku yang aneh itu. Aneh karena dia sendiri perempuan yang kukenalyang tak suka Kartini. Semua suka Kartini. Sampai ada lagunya, bukan?

ibu kita Kartini
putri sejati
putri Indonesia
Harum namanya
....

******

Lalu ketika aku SMA, tak sengaja, tepat di hari Kartini kubaca artikel seputar Tokoh idolaku itu. Isinya menggugat kebenaran surat-surat Kartini. Alasannya, tak mungkinlah anak usia 16 tahun sudah bisa menulis dengan analisa sedalam itu. Mampu mengkritisi Agama, kondisi perempuan, pendidikan dan lain-lain.Saat itu aku berfikir sejenak..benarkah tak bisa?. Kubandingkan Kartini dengan diriku saat itu di usia yang sama. Yah..memang aku tak punya selembar tulisanpun kecuali tugas mengarang di sekolah. Mungkin benarlah pemikiran penulis artikel itu, karena dia sendiripun tak mampu menandingi tulisan Kartini meski usianya sudah melewati usia Kartini saat menulis surat-suratnya itu.

Namun saat itu,aku juga tak begitu perduli dengan pemikiran artikel tersebut. Aku lebih berasa Malu. Malu pada diri sendiri. Aku malu pada Kartini.
Begitu banyak fasilitas yang kuterima, begitu bebas aku mendapatkan apapun yang kuinginkan. Tapi aku tak secemerlang Kartini dengan segala keterbatasan perempuan di zamannya.
Ya.. aku tak perduli dengan pemikiran artikel koran itu.
Ah..tak perduli akan benar tidaknya keaslian tulisan Kartini. Aku ingin bisa seperti Kartini yang menulis kondisi bangsanya.
Sejak itu akupun mulai menulis. Semakin sering aku menulis, semakin butuh aku membaca. Pahamlah aku, kenapa Kartini lebih populer dari pahlawan perempuan lainnya.
Karena...Kartini menulis sejarahnya sendiri.
Kartini tak tunduk pada History, Tapi Kartini menulis Herstory.

*****
Dan pagi ini. Di depan cermin usai kusemat hiasan jilbabku.
Aku bergumam sendiri, meneguhkan hati.
Aku mungkin tak secemerlang Kartini.
Mungkin tinta pena ku tumpah hingga ke eropa sana.
Mungkin kelak Aku tak akan mengabadi seperti Abadinya Kartini di benak perempuan Indonesia.
Tapi wahai Kartini, Pahlawanku, Aku lebih berani dari dirimu.

***
Kukecup kening Ayah Ibukuku, kuciumi kedua tangannya, dan bersimpuh di Kakinya.
" Maafkan Kartini, karena telah bercerai dengan Mas Ario. Cukup sudah Kartini disakiti. Tak kan kubiarkan anak-anakku belajar menyakiti. Jangan Ayah Ibu ragukan masa depan anak-anakku. Kartini bisa menghidupi mereka. Relakan saja Kartini dengan jalan hidup yang Kartini pilih, karena aku..Kartini".

Wajah renta mereka perih melepasku. Perih itu semakin menusuk luka hatiku yang menganga. Sungguh Aku mencintai mereka berdua. Tapi aku harus bangkit. Ku gandeng kedua anakku. Sekolah Perempuan menanti untuk ku bangun.
***

Tidak ada komentar: